Para pemilik toko di sana kini lebih memilih memperbanyak stok menjual produk-produk buatan China, dari mulai ponsel hingga pendingin ruangan bahkan alat tulis hingga mesin cuci. Fenomena seperti ini dapat dengan jelas disaksikan di Libanon, negara yang ekonominya hancur berkeping-keping serta cadangan mata uang asing yang habis.
Pada saat terjadi kasus pertama Covid-19 pada 21 Februari
lalu di Lebanon, otoritas China bergegas untuk memberikan bantuan medis kepada
pemerintah.
Ketepatan respon menciptakan kesan di beberapa kalangan
bahwa China mencari pijakan di Libanon, Negara yang telah lama dipandang
sebagai taman bermain politik bagi kekuatan-kekuatan utama dan semacam pintu
gerbang Timur Tengah ke Barat.
Bahkan minggu lalu pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah
telah mengulangi seruannya pada November tahun lalu. Seruan yang berisi pesan
jika ingin menyelamatkan Libanon, maka pemerintah diminta untuk merapat ke
China.
"Pergi ke China untuk menyelamatkan Lebanon secara
finansial dan ekonomi," katanya, seperti dikutip dari Arab News, Selasa
(2/6).
Pernyataan itu telah membuat banyak orang bertanya-tanya
apakah politisi Lebanon menyejajarkan negara mereka terlalu dekat dengan
kekuatan Asia.
Jika melihat bencana
yang melanda negara tersebut sepanjang abad ke-20, Libanon tidak pernah lebih
rentan daripada saat terjadi bencana virus corona yang tengah melanda negeri
itu.
Ekonomi Libanon diproyeksikan menyusut sebesar 12 persen
pada tahun ini. Sementara setengah dari anggaran pemerintah akan digunakan
untuk membayar beban utang yang telah mencapai 170 persen dari PDB.
Bahkan populasi Libanon di bawah garis kemiskinan diyakini
telah melonjak hingga 75 persen dari tingkat pra-pandemik sebanyak 50 persen.
Terhadap latar belakang yang suram ini, beberapa politisi,
ekonom, dan akademisi Libanon berargumen bahwa Beirut telah tertinggal dari
negara-negara lain dalam memperkuat hubungan dengan Beijing, sama seperti
terlambat memberikan pengakuan diplomatik kepada Republik Rakyat Tiongkok yang
dipimpin Komunis.
"Lebanon mengakui Republik Rakyat China hanya setelah
perjalanan rahasia Henry Kissinger ke negara itu pada tahun 1971," kata
Dr. Massoud Daher, kepala Komite Persahabatan dan Kerjasama Tiongkok-Lebanon,
merujuk pada mantan Menteri Luar Negeri AS dan penasihat keamanan nasional.
Hampir 50 tahun berlalu...
Pada minggu terakhir bulan Mei, Tentara Pembebasan Rakyat
memberikan sumbangan langsung kepada Tentara Lebanon untuk meningkatkan perang
melawan pandemi Covid-19. Barang-barang tersebut termasuk masker, kacamata, APD, dan perlengkapan medis
lainnya.
"Donasi Tiongkok jelas mencerminkan soliditas dan
kedalaman hubungan antara dua negara dan dua pasukan," kata Wang Kejian,
duta besar Tiongkok untuk Libanon.
Bulan lalu, China juga telah menandatangani perjanjian kerja
sama dengan Lebanon yang bertujuan membangun pusat-pusat budaya di kedua negara
"berdasarkan kesetaraan dan saling menguntungkan."
Sekitar 80 persen kebutuhan Libanon dipenuhi melalui impor
yang dikelola pemerintah, sedangkan 40 persen impor berasal dari China, menurut
kantor berita Xinhua.
Ketegangan antara China dan AS yang meningkat atas diplomasi
donasi Beijing dalam banyak sengketa, Zhang Jian Wei, direktur jenderal
Departemen Asia Barat dan Afrika Utara mengatakan:
“Kami tidak bermaksud untuk mengganti Amerika Serikat di
Libanon dan kami tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya, karena China
masih merupakan negara berkembang. Bahkan jika China menjadi lebih maju secara
ekonomi, ia tidak akan berusaha mengisi kekosongan apa pun di Lebanon.”
Wei seolah mengisyaratkan bahwa kerja sama China dengan
negara-negara Arab mengganggu beberapa negara lain, seperti AS, yang 'mengambil
semua langkah untuk mengendalikan pengaruh China'.
“AS adalah negara maju terbesar di dunia, dan kami tidak
menginginkan perang dagang. Tetapi jika Amerika bersikeras, kami akan berjuang
sampai akhir,” kata Wei.
Untuk semua hubungan multidimensi yang semakin dalam dengan China, Daher mengatakan Libanon terikat dengan AS sampai pemberitahuan lebih lanjut.